Jaga ‘Generasi Emas’ Bangsa

SUNGGUH miris jika kita melihat fenomena saat ini, di mana anak sering mengalami kekerasan, bukan hanya di lingkungan masyarakat namun juga di lingkungan keluarga. Di lingkungan keluarga, anak bisa mendapat naungan dan perlindungan, tetapi mengapa saat ini banyak anak yang menjadi korban kekerasan keluarga dan lingkungan? Ini tentunya menjadi tugas dan tanggung jawab besar bagi setiap orang tua. Apabila kita melihat beberapa kasus di Indonesia kekerasan terhadap anak terus meningkat baik itu kekerasan fisik,  psikis, cyber bullying, pelecehan seksual, perdagangan anak, hingga pembunuhan telah banyak terjadi tetapi hanya beberapa kasus yang dilaporkan ke polisi atau aparat penegak hukum lainnya.

Data yang dirilis oleh Komisi Perlindungan 
Anak Indonesia (KPAI) selama 2011-2014, terjadi peningkatan kasus kekerasan yang signifikan. Pada 2011 terjadi 2.178 kasus kekerasan, 2012 ada 3.512 kasus, 2013 ada 4.311 kasus, 2014 ada 5.066 kasus. Kekerasan pada anak dapat terjadi dimana saja, misalnya lingkungan keluarga,  lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Anak-anak harusnya mendapat perlindungan, kasih sayang dan naungan dari keluarganya karena mereka sedang melewati masa pertumbuhan dan perkembangan sehingga mereka harus mendapat tuntunan. 

Hasil monitoring dan evaluasi KPAI di 9 provinsi pada 2012 menunjukkan bahwa 91% anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87,6% di lingkungan sekolah, dan 17,9% terjadi di lingkungan masyarakat. Sungguh mengejutkan mengapa kasus kekerasan tertinggi terjadi di lingkungan keluarga, padahal keluarga dapat dikatakan sebagi tempat perlindungan anak. 

Orang tua yang melakukan kekerasan pada anak biasanya memiliki karakter seperti berikut; toleransi frustasi rendah, keterampilan parenting kurang, merasa tidak mampu menjadi orang tua, harapan tidak realistik terhadap anak, kesepian dan terisolasi, merasa tidak aman, harga diri yang rendah, dan lain-lain. Seharusnya keluarga atau orang tua lebih dapat memberikan perlakuan yang sesuai dengan kebutuhan anak pada usianya. Punishment (hukuman) dan reward (hadiah) memang dapat diterapkan saat mendidik anak, namun yang paling penting adalah hukuman dan hadiah yang diberikan haruslah yang bersifat mendidik, sehingga dapat dijadikan pembelajaran bagi sang anak.

 Kasus menggemparkan
Jika kita tinjau ada beberapa kasus yang sangat menggemparkan Indonesia. Seorang anak bernama Angeline, yang berusia 8 tahun di Denpasar, Bali, misalnya, dibunuh oleh ibu angkatnya dan dikubur di belakang rumahnya. Lalu, pada pertengahan 2014 lalu, publik kembali dikejutkan dengan kasus Robot Gedek dari Sukabumi, sang pelaku Emon alias Andri Sabri (23 tahun), terbukti telah menyodomi setidaknya 140 anak di wilayah itu. Masyarakat sempat tercengang mendengar berita-berita yang sangat tidak manusiawi seperti itu, apabila difikir secara logika mengapa orang tega melakukan hal yang begitu keji terhadap anak-anak.

Lalu siapa yang patut disalahkan dengan fenomena sosial ini; keluarga, masyarakat, atau pemerintah? Mengapa seseorang tega melakukan kekerasan bahkan pada anggota keluarganya sendiri? Jika ditinjau dari perspektif ilmu psikologi dikatakan bahwa kondisi frustasi dapat menimbulkan emosi marah yang kemudian menyebabkan seseorang melakukan agresi (kekerasan atau penyerangan kepada orang lain), frustasi dalam hal ini menyebabkan manusia berperilaku tidak sewajarnya kepada orang lain karena apabila seseorang sedang frustasi maka emosinya cenderung tidak stabil. Apabila anda merasakan bahwa anda mudah mengalami emosi marah dan dorongan untuk melakukan kekerasan, maka ada beberapa hal yang dapat anda lakukan untuk mengendalikan agresitivitas tersebut seperti; melakukan pengamatan tingkah laku yang baik seperti menonton acara-acara yang mendorong tingkah laku menolong dan minim kekerasan, selanjutnya adalah katarsis, yaitu upaya untuk meredakan rasa marah seperti melakukan aktivitas yang menguras tenaga contohnya meninju samsak dan berolahraga. Faktor lain yang menyebakan manusia mengalami agresi yaitu alkohol, penelitian yang terkait dengan konsumsi alkohol menunjukkan kenaikan agresitivitas, bahkan penelitian ini telah dilakukan di 14 negara yang menunjukkan hasil bahwa tingkah laku kriminal dilakukan oleh pelaku saat menenggak alkohol. Bukankah sangat menyedihkan apabila saat sedang mengonsumsi alkohol lalu tanpa disadari kita melakukan kekerasan terhadap orang yang kita sayangi karena emosi yang tidak stabil. Maka kita harus benar-benar menjaga diri dari alkohol, karena alkohol bukan hanya merugikan diri sendiri namun juga orang lain.

Selain itu ada juga beberapa kemungkinan penyebab orang berperilaku keji kepada orang lain, yaitu karena gangguan psikologis seperti psikopat (sakit jiwa), phedopilia (seorang dewasa yang memiliki hubungan kuat dan berulang terhadap dorongan seksual dan fantasi tentang anak-anak prapuber). Seseorang yang mengalami gangguan ini akan melakukan kejahatan secara sadar dan tanpa ada rasa bersalah.

Apabila kekerasan terus terjadi di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, maka akan memberikan dampak negatif pada anak. Ini merupakan masalah sosial yang berpengaruh buruk terhadap proses tumbuh kembang anak, baik secara fisik maupun psikologis, terutama trauma psikologis yang berdampak pada penurunan kualitas hidup anak yang berada dalam proses tumbuh kembang antara usia 0-18 tahun, apalagi kekerasan dilakukan oleh anggota keluarga terdekat, maka dapat menyebabkan traumatis pada anak. 
Anak-anak cenderung meniru perilaku orang yang ada di sekelilingnya. 

 Dampak kekerasan
Menurut psikolog Albert Bandura, “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain.” Mungkin dampak atau efek kekerasan tidak akan mengubah perilaku anak secara signifikan, tetapi tidak ada yang dapat memastikan apakah anak tersebut akan mengalami gangguan mental atau tidak? 
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari.
Komnas Perlindungan Anak mencatat, seorang anak berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya. Pada anak-anak, dampak pelecehan seksual bisa terlihat pada perilaku seperti kecemasan tidak beralasan atau mudah merasa takut, sedangkan pada remaja dampaknya lebih besar lagi, seperti frustasi, melarikan diri dari rumah, dapat menyebabkan prestasi belajar menurun hingga telibat kejahatan, dan dapat pula tumbuh menjadi pribadi yang agresif.

Maka sudah sewajarnya orang tua memperbaiki pola asuh pada anak karena orang tua berperan besar terhadap anak-anaknya. Apalagi sekarang ini, kekerasan merajalela di mana-mana. Orang tua harus benar-benar melakukan pengawasan serta membekali anak dengan menjelaskan cara menghindari kejahatan, seperti menjelaskan secara gamblang bagaimana orang lain akan membujuk anak dengan makanan seperti permen, mainan atau uang untuk mengalihkan perhatian anak.

Lalu, jelaskan pula bahwa tidak ada seorang pun yang boleh menyentuh anggota tubuh dengan cara yang tidak wajar. Ajarkan untuk menolak perbuatan tidak senonoh pada anak dan dengan segera tinggalkan tempat di mana sentuhan itu terjadi. Ingatkan anak untuk berusaha mencari perhatian dari orang sekitar, apabila terjadi sesuatu dan segera ceritakan kejadiannya pada orang tua. Jangan sampai orang tua lengah, sehingga anak akan menjadi korbannya. Jadi, jagalah “generasi emas” bangsa! 

Annisa Shavira, Mahasiswi jurusan Psikologi (angkatan 2015), Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam, Banda Aceh. Email:
annisashav@mhs.unsyiah.ac.id

Artikel ini ditulis oleh Annisa untuk pemenuhan tugas mata kuliah Psikologi Sosial dan di Re-Post sebagai bagian dari program HIMAPSI yaitu “Sharing Our Task”
Posting-an yang asli dapat di akses pada link dibawah ini


#SharingOurTask
#HimapsiMengedukasi
#KabinetRevolusi2017


Share on Google Plus

Tentang Unknown

HIMAPSI Unsyiah adalah Himpunan Mahasiswa Psikologi Universitas Syiah Kuala yang merupakan tempat bernaung seluruh mahasiswa prodi psikologi Unsyiah.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar