![]() |
| ilustrasi |
Di alam ini tiada yang
bernoda kecuali pikiran dan
hanya
orang yang kejam sajalah yang pantas mendapat sebutan cacat.
- William Shakespeare –
Oleh : Meutia Maulida
A.
Sekilas Pintas Tentang Disabilitas
Sebagai warga
negara Indonesia, kedudukan, hak, kewajiban, dan peran penyandang cacat adalah
sama dengan warga negara lainnya. Hal ini termaktub dalam UUD 1945, pada Pasal
27 yang berbunyi “Setiap
warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Oleh karena itu, peningkatan peran serta fungsi para penyandang disabilitas
dalam pembangunan nasional penting untuk mendapat perhatian dan didayagunakan
sebagaimana layaknya.
Kementerian
Sosial Republik Indonesia menggunakan istilah Orang Dengan Kecacatan (ODK) yang
merupakan terjemahan dari Person with Disability. Hingga akhirnya pada
tahun 1997, penggunaan istilah difabel mulai dikenalkan kepada masyarakat
secara luas. Istilah difabel ini merupakan salah satu upaya untuk merekontruksi
pandangan, pemahaman, dan persepsi masyarakat umum pada nilai-nilai sebelumnya
yang memandang seorang difabel adalah seseorang yang tidak normal, memiliki
kecacatan sebagai sebuah kekurangan dan ketidakmampuan. Penggunaan istilah ini
dimaksudkan sebagai salah satu upaya merekonstruksi pandangan dan persepsi
masyarakat terhadap nilai yang berkonotasi negatif.
Walaupun demikian
terdapat perbedaan penafsiran tentang klasifikasi penyandang cacat, yang
disebabkan oleh perbedaan perhatian dan kepentingan. Departemen Kesehatan dan
kalangan akademisi lebih cenderung menggunakan klasifikasi penyandang
cacat menurut ketentuan WHO berupa a) impairment,
yakni orang yang tidak berdaya secara fisik sebagai konsekuensi
dari ketidaknormalan psikologis, psikis, atau karena kelainan pada struktur organ tubuhnya, b)
disabilitas, adalah ketidakmampuan dalam melakukan aktifitas pada tataran
aktifitas manusia normal, sebagai
akibat
dari kondisi impairment, dan c) handicap, yaitu ketidakmampuan seseorang
di dalam menjalankan peran sosial-ekonominya sebagai akibat dari kerusakan
fisiologis dan psikologis baik disebabkan abnormalitas fungsi (impairment), atau karena cacat (disability) sebagaimana di atas.
BPS dalam Sakernaspada
tahun 2011 menyebutkan jumlah keseluruhan penduduk Indonesia adalah sebesar
237,6 juta jiwa dengan jumlah penduduk usia kerja sebesar 171,75 juta jiwa. Menurut
data PUSDATIN dari Kementerian Sosial pada 2010, jumlah penyandang disabilitas di
Indonesia sebesar 11.58
juta jiwa dengan di antaranya 3.47
juta jiwa (penyandang
disabiltas penglihatan), 3.01
juta jiwa (penyandang
disabilitas fisik), 2.54
juta jiwa (penyandang disabilitas pendengaran), 1.38 juta jiwa (penyandang disabiltias
mental) dan 1.15
juta jiwa (penyandang disabilitas kronis).
B.
Tantangan dan Paradigma Publik
Orang-orang dengan
konsep kebenaran yang dibangun dari pandangan positifisme beranggapan bahwa
suatu hal yang dianggap normal adalah yang sesuai dengan kebanyakan orang
(generalisasi). Oleh karena itu, sesuatu yang dianggap berbeda maka dianggap
tidak normal. Pesepsi inilah yang kemudian melahirkan sebutan cacat, luar
biasa, abnormal, kelainan dan lain sebagainya. Sebutan-sebutan ini mereka
berikan kepada orang-orang yang memiliki kondisi fisik yang tidak seperti
keadaan kebanyakan orang.
Mengatasi
persoalan di atas, hal yang perlu dilakukan adalah mengubah paradigma publik
melalui kontra diskursus (proses perlawanan) peristilahan. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa di dalam Al-Quran disebutkan bahwa Tuhan
menciptakan manusia dengan sebaik dan sesempurna
bentuk. Berdasarkan pernyataan ini memperjelas bahwa manusia itu makhluk Tuhan
yang sempurna jika dipandang dari persepsi kritis, tidak ada yang cacat, dan
mempunyai kemampuan untuk berkembang secara maksimal jika mereka diberi
kesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang memungkinkan bagi dirinya. Akan
tetapi, jika mereka dihadapkan pada keadaan yang tidak mampu menunjang
pengembangan dirinya maka mereka akan menjadi lemah, tidak berpotensi atau
tidak berkemampuan karena memang tidak dimampukan oleh lingkungan tinggalnya.
Tetapi
sebenarnya Orang Dengan Kecatatan (ODK) bukan orang yang tidak mempunyai
kemampuan, mereka mempunyai potensi atau kemampuan tetapi berbeda bentuk dan
jenis kemampuannya dari pemahaman kebanyakan orang. Terkadang, kemampuan
tersebut lebih dominan dan potensial ketimbang mereka yang non-disabilitas.
Oleh karena itu, tantangan-tantangan yang dihadapi tidak hanya menjadi tanggung
jawab mereka yang disabilitas saja, akan tetapi seluruh elemen dalam negara harus
turut serta ‘menyempurnakan’ penyandang disabilitas.
C.
Dukungan Pemerintah Terhadap
Penyandang Disabilitas Untuk Bekerja
Pemerintah Indonesia telah berupaya
melindungi hak-hak penyandang disabilitas melalui UU No. 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat dan PP No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan
Sosial Penyandang Cacat. Namun, hingga kini masih ada undang-undang yang
kontradiksi dengan UU No. 4
Tahun
1997 tersebut. Disamping
itu, persoalan lain yang turut muncul adalah realisasi program yang belum
berjalan sebagaimana mestinya dan dikhawatirkan berdampak terhadap munculnya
persoalan baru. Sehubungan dengan ini, upaya pemerintah untuk melakukan Ratifikasi
Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas menjadi harapan baru dalam rangka
pelindungan hak penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas pada dasarnya
memiliki kemampuan dan potensi yang dapat dikembangkan agar dapat mandiri. Upaya
pemandrian penyandang disabilitas dapat diberlakukannya rehabilitasi sosial dan untuk dapat
melaksanakan rehabilitasi sosial dengan baik maka perlu diketahui kebutuhan
tiap-tiap penyandang cacat.
Pemerintah
menjalankan fungsinya dengan baik yang dicerminkan melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan
yang menyatakan bahwa “Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang
sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, termasuk perlakuan
yang sama terhadap para penyandang cacat”. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003
tersebut terdapat beberapa Pasal yang mengatur mengenai hal tersebut di atas,
yaitu Pasal 5 yang menyatakan bahwa “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan
yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan”, lebih lanjut Pasal 6
UU Nomor 13 tahun 2003 yang menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh memperoleh perlakuan
yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
D. Kelebihan Penyandang Disabilitas
Kasus-kasus dalam dunia bisnis
mengemukakan bahwa pekerja dengan disabilitas sering kali memperlihatkan performa yang
lebih baik dan produktif dibandingkan mereka
yang non-disabilitas dalam hal keamanan kerja, kehadiran, kesopanan dan
motivasi. Jelas motivasi sangatlah besar pengaruhnya bagi mereka penyandnag
disabilitas. Analisa lebih lanjut memberikan hasil bahwa penyandang disabilitas
menunjukkan mereka memiliki sumber
keahlian dan bakat yang belum dimanfaatkan, termasuk keahlian teknis jika mereka
memiliki akses ke pelatihan, dan keahlian problem
solving yang dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Di lain pihak
melakukan perekrutan penyandang disabilitas dapat berkontribusi terhadap
keberagaman, kreativitas, dan semangat kerja secara keseluruhan, serta mampu meningkatkan
reputasi perusahaan di kalangan pekerjanya, di masyarakat, dan di kalangan
konsumen.
E.
Aksesibilitas Bagi Penyandang
Disabilitas
Permasalahan yang muncul dan sering
dihadapi oleh penyandang disabilitas sebagian besar berupa minimnya akses
informasi mengenai pentingnya melakukan rehabilitasi, kurangnya fasilitas umum
yang memudahkan para penyandang cacat melaksanakan aktivitas sehari-hari dan kurangnya
akses terhadap
pekerjaan bagi penyandang disabilitas. Khususnya di Indonesia, para penyandang
disabilitas yang berada di pelosok-pelosok daerah sama sekali belum mengetahui
bahwa rehabilitasi sangat perlu dilakukan. Hal ini menyebabkan munculnya
penyandang disabilitas terlantar yang terbiarkan. Permasalah yang dihadapi
penyandang disabilitas ini berupa permasalahan kesehatan, pendidikan, ekonomi
dan sosial yang semakin parah.
Aksesibilitas terhadap prasarana dan
sarana pelayanan umum, sehingga para penyandang cacat mampu melakukan segala
aktivitasnya seperti orang normal diperlukan supaya mereka mampu berperan dan
bersaing dalam lingkungan sosialnya serta memiliki rasa kemandirian dalam hal
menyejahterkaan dirinya sendiri. Hal ini tertuang dalam UU No. 4 Tahun 1997
pasal 8 yang menyebutkan bahwa,
pemerintah dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya hak-hak
penyandang cacat. Lebih lanjut pasal 10 ayat 1 dan 2 dalam UU No. 4 Tahun 1997
dinyatakan bahwa “Setiap kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas”. Lebih
lanjut disebutkan pada Pasal 11 ayat 1 dan ayat 2 menyebutkan penyediaan
aksesibilitas berbentuk fisik dilaksanakan pada sarana dan prasarana umum
meliputi (a) aksesibilitas pada bangunan umum, (b) aksesibilitas pada jalan
umum, (c) aksesibilitas pada pertamanan dan pemakaman umum, dan (d)
aksesibilitas pada angkutan umum.
Di lain pihak, para penyandang cacat
sendiri baik cacat fisik, netra, wicara dan cacat mental, kurang memahami hak dan
kewajibannya. Untuk menuntaskan tujuan tersebut, diperlukan kemudahan (aksesibilitas)
bagi para penyandang cacat, agar mereka dapat melakukan aktivitas kesehariannya
sama seperti masyarakat yang non-disabilitas.
F.
Program PROPEL-ILO
ILO (International
Labour Organization/Organisasi Ketenagakerjaan Internasional) merupakan
badan organisasi
dunia yang membidangi tentang ketenagakerjaan dan telah bekerja selama lebih
dari 50
tahun untuk mendorong pengembangan keterampilan dan peluang kerja bagi
penyandang disabilitas berdasarkan prinsip-prinsip peluang dan perlakuan yang
setara.
PROPEL merupakan singkatan dari Promoting Rights and Opportunities for
People with Disabilities in Employment through Legislation/Mendorong Hak dan
Peluang bagi Para Penyandang Disabilitas dalam Pekerjaan Melalui Peraturan Perundang-undangan. Tujuan dari program ini
agar terciptanya pekerjaan dan peluang kerja yang lebih baik bagi laki-laki dan
perempuan penyandang disabilitas, melalui pembentukan kebijakan dan kerangka
hukum yang mendukung, promosi peluang untuk mengembangkan keterampilan serta
langkah-langkah untuk menghapuskan diskriminasi.
PROPEL merupakan secercah harapan bagi
mereka penyandang disabilitas,
dikarenakan selain dibentuk oleh badan dunia dan mengutamakan mereka yang
disabilitas, juga disebabkan tersedotnya perhatian pemerintah-pemerintah dunia
dalam rangka menuntaskan program ini. Program ini juga telah menstimulus munculnya gerakan-gerakan
yang serupa dan mengatasnamakan kesamaan dalam keberagaman.


0 komentar:
Posting Komentar